Sleman (MTsN 10 Sleman)—Bagi rakyat Indonesia, ketupat identik dengan perayaan hari kemenangan Idul Fitri. Di dalam filosofi Jawa, ketupat bukan lagi sekadar hidangan khas raya Lebaran, tapi memiliki makna yang mendalam. Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari Ngaku Lepat.
Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Ngaku lepat ini diwujudan tradisi sungkeman yang menjadi implementasi mengakui kesalahan (ngaku lepat) bagi orang Jawa. Prosesi sungkeman yakni bersimpuh di hadapan orangtua seraya memohon ampun, dan ini masih menjadi tradisi hingga saat ini. Jadi, sungkeman tak lepas dari budaya dengan budaya janur (sunur).
Selongsong ketupat menjadi kebutuhan jelang hari raya. Namun demikian, minat untuk membuat selongsong ketupat semakin menipis. Keterampilan yang lazimnya dikuasai generasi tua nyaris tidak ada penerusnya.” Pelatihan membuat selongsong ketupat bagi siswa merupakan salah satu cara melestarikan tradisi ketupat, “terang waka kesiswaan Sargiyono. MTsN 10 Sleman mengadakan pelatihan tersebut yang dikemas dalam kegiatan Sunur (Sungkeman Janur). Bertempat di Dome MTsN 10 Sleman, pelatihan diikuti peserta didik kelas 7 dan 8, Senin (25/4).
Pelatihan melibatkan guru dan pegawai yang mumpuni dalam membuat selongsong ketupat. Panitia telah menyediakan janur secukupnya untuk bahan praktik. Guru dan pegawai yang bertugas telaten membimbing siswa. Keterampilan yang tampak sederhana ternyata tak mudah dipraktikkan, “Anak-anak mesti telaten mencoba berulang kali,” ucap Sulis. “Iya, susah ternyata membuat ketupat,” ucap Zahra kelas 8. Namun demikian, kesulitan tak menyurutkan antusiasisme siswa untuk mencoba. Wajah riang menghiasi siswa yang berhasil membuat selongsong ketupat. (nsw)