sumber: epaper.mediaindonesia.com
PENDAHULUAN
Islam ada di Nusantara bukan dalam budaya tanpa masyarakat. Praktik budaya justru diserap, dianut, dan dilslamkan. Islam tidak menggantikan budaya yang hidup dalam masyarakat di mana Islam itu datang untuk mencerahkan orang-orang untuk meningkatkan iman mereka. Islam meluruskan, memberi nilai dan makna, dan memperkuat budaya yang berumur panjang dari masyarakat yang didakwahinya.
Masyarakat Jawa sangat kental dengan masalah adat dan kebudayaannya. Tradisi dan budaya Jawa masih mendominasi tradisi dan budaya nasional Indoneisa hingga saat ini. Nama-nama Jawa sudah tidak asing lagi di telinga orang Indonesia, begitu pula jargon dan istilah-istilah Jawa. Hal ini membuktikan bahwa alat keagamaan seperti doa-doa dengan pengucapan bahasa Arab dan Jawa. Oleh karena itu, sadranan hanyalah tradisi atau adat Jawa sebagai ritual atau kegiatan budaya. Tradisi turun-temurun “mengirim doa dan mendoakan leluhur” sebelum bulan Ramadhan dapat menciptakan budaya yang terlihat seperti aktivitas keagamaan. Namun pada dasarnya kegiatan ini hanyalah tradisi budaya yang sudah ada sejak lama. Nyadran sempat menjadi masalah dalam masyarakat Islam. Karena ritual tersebut dianggap syirik dan menyimpang dari Islam. Saat itu, Ulama sepertinya sudah mulai berpikiran sesat dan ingin mengubah pemikiran konservatif masyarakat ke arah yang lebih progresif (M. Islamiyah, 2013: 81)
ISI
- Sadran/Nyadran Secara Bahasa dan Istilah
Nyadran merupakan salah satu tradisi yang masih lekat dalam kehidupan masyarakat Jawa. Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta “Sraddha”yang artinya keyakinan. Tradisi Nyadran merupakan suatu budaya mendoakan leluhur yang sudah meninggal dan seiring berjalannya waktu mengalami proses perkembangan budaya sehingga menjadi adat dan tradisi yang memuat berbagai macam seni budaya. Nyadran dikenal juga dengan nama Ruwahan, karena dilakukan pada bulan Ruwah. Tradisi Nyadran berdasarkan sejarahnya merupakan suatu akulturasi budaya jawa dengan islam.
Menurut Yanu Endar Prasetyo, Nyadran atau Sadranan adalah tradisi yang dilakukan oleh orang jawa yang dilakukan di bulan Sya’ban (Kalender Hijriyah) atau Ruwah (Kalender Jawa) untuk mengucapkan rasa syukur yang dilakukan secara kolektif dengan mengunjungi makam atau kuburan leluhur yang ada di suatu kelurahan atau desa. Nyadran dimaksudkan sebagai sarana mendoakan leluhur yang telah meninggal dunia, mengingatkan diri bahwa semua manusia pada akhirnya akan mengalami kematian, juga dijadikan sebagai sarana guna melestrikan budaya gotong royong dalam masyarakat sekaligus upaya untuk dapat menjaga keharmonisan bertetangga melalui kegiatan kembul bujono (makan bersama).
Sudah menjadi tradisi masyarakat pedesaan Jawa melaksanakan ritual kolektif tahunan yang disebut nyadran atau bersih desa (bersihan). Ritual nyadran ini dimaksudkan untuk mendapat keselamatan warga desa dan terbebasnya masyarakat desa dari segala bentuk bencana (nirsambikolo). Tradisi nyadran adalah salah satu jenis upacara daur hidup dalam masyarakat/kebudayaan Jawa di samping ritual gerebeg (puasa dan Maulud), tahun baru 1 Syura, dan Lebaran. Ritual jenis ini dibarengi dengan penyediaan berbagai menu makanan lokal oleh seluruh rumah tangga di suatu desa secara bersama-sama, seperti nasi kuning, panggang ayam, apem, ampyang, opak ketan, jenang abang, jadah, dan masih banyak yang lainnya. Di dalam kerangka pelaksanaan nyadran juga dipergelarkan beberapa kesenian tradisional tertentu semenjak siang hari hingga malam hari, seperti reyog, gambyong (tayub), wayang kulit, wayang orang, kethoprak, ludruk, dan lain-lain. Dalam hal ini, ada perbedaan jenis kesenian tradisional yang digelar antara desa yang satu dengan desa yang lain, tergantung kesukaan (kareman) pendiri desa (danyang).
- Tatacara Tradisi Sadran/Nyadran
Nyadran berasal dari tradisi Hindu dan Budha yang berasal dari abad ke-15, dan Walisongo menggabungkan tradisi ini dengan dakwahnya sehingga ia dapat dengan mudah memeluk Islam. Awalnya, para wali berusaha meluruskan kepercayaan masyarakat Jawa tentang animisme, yang dalam Islam dikenal sebagai
musyrik. Untuk menghindari kesalahpahaman dengan tradisi tradisi tersebut, para wali melengkapinya dengan mengambilnya, mengisinya dengan ajaran Islam, dan membaca ayatayat seperti Alquran, Tahlil, dan doa. Nyadran merupakan rangkaian ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, khususnya yang berasal dari Jawa Tengah. Nyadran umumnya merupakan tradisi menyapu makam di daerah pedesaan. Dalam bahasa Jawa, nyadran berasal dari kata Sadran yang artinya Ruwa Shakban. Nyadran adalah seperangkat budaya yang melibatkan pembersihan makam leluhur dan penanaman bunga, biasanya dengan acara berupa kenduri, slametan di makam leluhur. Tradisi Nyadran merupakan peninggalan Hindu dengan sentuhan ajaran Islam. Tradisi Nyadran adalah bentuk komunikasi ritual di antara orang Jawa, dan Nyekar diyakini memungkinkan komunitas nyadran untuk menjalin hubungan dengan Sang Pencipta.
- Secara umum, Tradisi Nyadran terdiri dari berbagai kegiatan, yakni
- Melakukan besik, yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan. Dalam Kegiatan ini masyarakat dan antar keluarga saling bekerjasama gotong-royong untuk membersihkan makam leluhur.
- Kirab, merupakan arak-arakan peserta Nyadran menuju ketempat upacara adat dilangsungkan.
- Ujub, menyampaikan Ujub atau maksud dari serangkaian upacara adat Nyadran oleh Pemangku Adat.
- Doa, Pemangku Adat memimpin kegiatan doa bersama yang ditujukan kepada roh leluhur yang sudah meninggal.
- Kembul Bujono dan Tasyukuran, setelah dilakukan doa bersama kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Masyarakat menggelar Kembul Bujono atau makan bersama dengan setiap keluarga yang mengikuti kenduri harus membawa makanan sendiri. Makanan yang dibawa berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambal goreng ati, urap sayur dengan lauk rempah, prekedel, tempe dan tahu bacem, dan lain sebagainya. Setelah masyarakat telah berkumpul dan membawa kendurinya masing-masing, kemudian makanan yang dibawa diletakkan didepan untuk didoakan oleh pemuka agama setempat untuk mendapatkan berkah dan kemudian tukar menukar makanan yang tadi dibawa oleh masyarakat, untuk mengakhiri acara kemudian masyarakat melakukan makan berasama dengan saling bersendau gurau untuk saling mengakrabkan diri.
- Makna Tradisi Sadran/Nyadran
Makna yang terkandung dalam tradisi nyadran itu antara lain sebagai tanda bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan rahmat yang telah diberikan kepada masyarakat desa selama satu tahun. Di samping itu, juga sebagai tanda penghormatan kepada pendiri desa, cikal bakal desa, atau biasa disebut sebagai danyang desa. Seiring dengan digelarnya kesenian tradisional itu, maka nyadran bisa dimaknakan sebagai event ajang kebolehan beberapa bentuk kesenian tradisional dan sekaligus sebagai bentuk pelestarian/pengembangan kesenian tradisional secara nyata.
Menurut Yanu Endar Prasetyo, Nyadran atau Sadranan adalah tradisi yang dilakukan oleh orang jawa yang dilakukan di bulan Sya’ban (Kalender Hijriyah) atau Ruwah (Kalender Jawa) untuk mengucapkan rasa syukur yang dilakukan secara kolektif dengan mengunjungi makam atau kuburan leluhur yang ada di suatu kelurahan atau desa. Nyadran dimaksudkan sebagai sarana mendoakan leluhur yang telah meninggal dunia, mengingatkan diri bahwa semua manusia pada akhirnya akan mengalami kematian, juga dijadikan sebagai sarana guna melestrikan budaya gotong royong dalam masyarakat sekaligus upaya untuk dapat menjaga keharmonisan bertetangga melalui kegiatan kembul bujono (makan bersama).
- Tradisi Sadran/Nyadran di Dusun Padaan Ngasem Kabupaten Kulon Progo
Tradisi Ruwahan (yang juga mencakup Nyadran) di Dusun Padaan Ngasem tidak diketahui secara pasti sejarahnya. Hal ini dikarenakan tradisi ini sudah ada sejak zaman dahulu atau sejak zaman nenek moyang. Masyarakat sekarang hanya bertugas untuk melestarikan atau meneruskan tradisi tersebut.Awalnya, sebelum masuknya Agama Islam, tradisi Ruwahan bertujuan sebagai sarana pemujaan atau mengagungkan para leluhur atau nenek moyang agar mereka memberkati, menjaga penduduk, dan agar penduduk tidak terkena tulah (kutukan) dari arwah leluhur. Tujuan ini kemudian berubah setelah masuknya Agama Islam. Tradisi Ruwahan (termasuk Nyadran) dilaksanakan di Bulan Syakban (Bulan Ruwah). Rangkaian utamanya adalah: Berseh (Membersihkan Makam): Dimulai pada tanggal 14 bulan Syakban. Ruwahan/Slametan di Masjid: Dilaksanakan pada tanggal 15 Syakban (malam harinya) secara bersama-sama. Nyadran (Ruwahan Pindhon): Dilakukan setelah tanggal 15 bulan Syakban. Waktunya ditentukan oleh lingkungan, kaum, dan masyarakat. Pelaksanaan tradisi Ruwahan (termasuk Nyadran) di Dusun Padaan Ngasem diikuti oleh seluruh masyarakat Dusun Padaan Ngasem. Saat Ruwahan/Slametan di masjid, setiap keluarga masyarakat harus membawa ambengan. Saat Nyadran, tradisi diikuti oleh masyarakat yang berada di lingkungan sekitar makam, terutama yang memiliki nenek moyang, keluarga, atau saudara yang dimakamkan di makam tersebut. Masyarakat di luar wilayah makam hanya datang untuk mengikuti tradisi.
Tradisi Ruwahan (nyadran) di desa ngasem memeliku makna untuk,mengirim doa dan memohonkan ampunan leluhur yang sudah tidak ada kepada Allah. Mengingatkan masyarakat kepada leluhurnya dengan mendoakan dan ziarah kubur sebagai bentuk bakti anak kepada orang tua atau leluhur. Merekatkan persaudaraan antar warga masyarakat karena menjadi momen berkumpul dan saling berkomunikasi.
Rangkaian kegiatan tradisi Ruwahan di Dusun Padaan Ngasem adalah:
Berseh (Kerja Bakti): Kegiatan membersihkan makam leluhur masing-masing, sumber mata air, dan jalan-jalan utama maupun kampung. Dilakukan secara gotong royong pada tanggal 14 Syakban. Diakhiri dengan makan bersama setelah selesai kerja bakti. Ruwahan/Slametan Bersama di Masjid: Dilaksanakan pada tanggal 15 Syakban. Masyarakat membawa ambengan (nasi dan lauk pauk, seperti sayur kentang, ayam goreng, tempe, dan mie). Acara dipimpin oleh Kaum (pemimpin agama) dengan tahlilan dan doa untuk leluhur. Setelah itu, makanan dibagikan secara acak untuk dimakan bersama. Nyadran (Ruwahan Pindhon): Dilaksanakan setelah tanggal 15 Syakban di serambi makam. Tujuannya untuk menuntaskan mendoakan leluhur yang belum sempat didatangi. Prosesnya sama dengan Ruwahan di masjid, tetapi lebih ramai dan sering dihadiri ustadz atau kyai yang memberikan ceramah. Ziarah Kubur: Biasanya dilakukan setelah tanggal 15 Syakban secara mandiri oleh masing-masing keluarga.
PENUTUP
Kesimpulan
Tradisi ruwahan adalah tradisi mengirim doa kepada leluhur secara mandiri per keluarga dan juga secara bersama-sama dengan menggunakan ambengan yang dilaksanakan di masjid. Ambengan adalah makanan sebagai lambang untuk mengirim doa dan memohonkan keselamatan arwah-arwah leluhur masyarakat Dusun Padaan Ngasem kepada Allah. Masyarakat Dusun Padaan Ngasem biasanya mengirim doa ziarah kubur dilakukan setelah tanggal 15 bulan Syakban. Tradisi ruwahan ini sudah ada sejak dahulu, oleh karena itu masyarakat sekarang hanya melestarikan atau meneruskan tradisi tersebut. Seiring berjalannya waktu, pelaksanaan tradisi ruwahan mengalami dinamika dengan meringkas tradisi tersebut. Hal tersebut meringankan masyarakat untuk melaksanakan tradisi tersebut, tetapi di sisi lain terdapat pemangkasan dalam tradisi yang akan mengurangi kekayaan kebudayaan yang sudah ada sebelumnya. Tradisi ruwahan di Dusun Padaan Ngasem mengalami beberapa dinamika. Beberapa dinamika yang penting diantaranya:
- masyarakat mengikuti tradisi ruwahan dengan membawa ambengan, tumpeng lancip/rasul, golong, dan sego gudangan sedangkan pada sekarang ini hanya menggunakan ambengan;
- membawa ambengan dengan menggunakan tedo, sedangkan pada zaman sekarang membawa ambengan dengan menggunakan besi;
- tradisi ruwahan dengan membakar kemenyan, sedangkan pada saat ini tidak lagi menggunakan kemenyan;
- setiap keluarga masyarakat Dusun Padaan Ngasem membuat kenduri secara bergilir atau yang biasa disebut ruwahan pindhon di masing-masing rumah, sekarang sudah tidak ada lagi;
- ruwahan pindhon yang dilaksanakan dengan kenduri secara bergilir sekarang digantikan dengan ruwahan secara mandiri tetapi pelaksanaannya sudah tidak lagi mengadakan kenduri melainkan dengan menggunakan makanan yang dibuat sendiri atau dengan memesan catering. Tradisi ruwahan mengalami perubahan dalam pelaksanaannya. Perubahan dari waktu ke waktu sampai sekarang ini mengalami degradasi kekayaan kebudayaan. Hal-hal yang bersifat unik dan menarik di pangkas menjadi pelaksanaan tradisi yang sederhana. Hal tersebut meringankan beban masyarakat dalam melaksanakan tradisi yang kompleks. Tetapi di sisi lain terdapat pemangkasan dalam pelaksanaan tradisi yang mengurangi kekayaan budaya lokal yang ada Di Dusun Padaan Ngasem.
PUSTAKA
Epaper Media Indonesia. (2023). Tradisi Sadran/Nyadran. Diakses dari https://epaper.mediaindonesia.com
Islamiyah, M. (2013). Tradisi Nyadran dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Prasetyo, Y. E. (2018). Tradisi Nyadran di Jawa: Akulturasi Budaya Jawa dan Islam. Surakarta: UNS Press.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Geertz, C. (1983). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Simuh. (1996). Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita. Jakarta: UI Press.
Sunyoto, A. (2011). Atlas Wali Songo. Jakarta: Pustaka IIMaN.
Disusun oleh: Alifah Lucky Lasahido, Azka Arifudin Adyatma, Daffa Zaky Nur Ramadhan, Fahri Aditya Akbar, Insan Yudha Pranata, M. Firel Farenza, M. Harfan Khoiry, Syifa Nur Fadilla, Zumayra Alifia (MTsN 10 Sleman).