sumber: dipastoria.com

PENDAHULUAN

Pembangunan Masjid Pathok Negoro berawal dari masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I. Yaitu setelah perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang memecah kerajaan mataram menjadi 2 bagian. Di masa awal Mataran Islam terbagi menjadi dua, Sultan membangun empat masjid yang memiliki fungsi utama sebagai Pathok Negoro (batas negara) pada keempat arah mata angin, sekitar tahun 1723-1819. Masjid tersebut mengelilingi satu pusat titik spiritual Kasultanan, yaitu Masjid Agung Keraton/Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. Yang menyebabkan posisi posisi ini dikenal sebagai “Papat Kalimo Pancer”.

     Di sisi timur dibangun Masjid Al Darojatun Babadan, di bagian utara dibangun Masjid Jami’ Sulthoni Plosokuning, dan di bagian barat dibangun Masjid Jami’ An-Nur Mlangi, serta di bagian selatan dibangun Masjid Nurul Huda Dongkelan. Pada awalnya Masjid pathok Negoro berjumlah empat namun kemudian menjadi lima karena adanya tambahan Masjid Kagungan Dalem Wonokromo di bagian selatan. Pada dasarnya masjid ini dibangun karena dipindahkannya masjid pathok Negoro babadan pada tahun 1940 an. Masjid Kagungan Dalem Wonokromo juga berperan seperti Masjid Pathok Negoro lainnya.

     Diantara masjid masjid Pathok Negoro, Masjid Jami’ Sulthoni Plosokuning termasuk yang terjaga keasliannya. Masjid ini didirikan setelah pembangunan Masjid Agung Yogyakarta sehingga bentuk masjid tersebut memiliki gaya arsitektur yang mirip Masjid Agung. Masjid Jami’ Sulthoni Plosokuning juga berfungsi sebagai pusat pengajaran agama Islam dan pertahanan bagi kesultanan Yogyakarta. Oleh karena itu, penulisan makalah ini dianggap menarik. Diharapkan para penulis dan pembaca dapat menambah pengetahuan tentang Masjid pathok Negoro terutama Masjid Jami’ Sulthoni Plosokuning.

 

ISI

  1. Letak Geografis Masjid Pathok Negoro Plosokuning

Secara geografis, Pathok Negoro Plosokuning terletak di Dusun Plosokuning, Desa Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasinya berada di bagian utara dari pusat Kota Yogyakarta. Adapun batas wilayahnya, di sebelah utara berdekatan dengan kawasan Sleman bagian tengah, di sebelah timur tidak jauh dari perbatasan Sleman dengan Kabupaten Klaten (Jawa Tengah), di sebelah selatan mengarah langsung menuju kawasan inti Kota Yogyakarta, sedangkan di sebelah barat terhubung dengan wilayah Sleman bagian barat serta jalur utama menuju Jalan Kaliurang.

     Masjid Pathok Negoro Plosokuning dibangun sebagai salah satu dari empat masjid Pathok Negoro yang berfungsi sebagai “benteng spiritual” bagi Kesultanan Yogyakarta. Keempat masjid ini ditempatkan di empat penjuru mata angin, yaitu Plosokuning di utara, Dongkelan di selatan, Mlangi di barat, dan Babadan di timur. Kehadiran masjid-masjid ini tidak hanya menandai batas geografis wilayah kekuasaan keraton, tetapi juga menjadi simbol penyebaran agama Islam, pusat dakwah, dan sarana memperkuat kehidupan spiritual masyarakat di sekitar wilayahnya. Dengan demikian, letak geografis Pathok Negoro Plosokuning tidak hanya strategis secara teritorial, tetapi juga memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi bagi masyarakat Yogyakarta hingga saat ini.

  1. Sejarah Berdirinya Masjid Pathok Negoro Plosokuning

Masjid Pathok Negoro Plosokuning adalah Masjid Pathok Negara sisi utara yang terletak di Jalan Plosokuning Raya, Minomartani, Ngaglik, Sleman. Masjid ini berstatus sebagai masjid milik Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, serta berjarak sekitar 12 km dari utara Keraton Yogyakarta. Salah satu bangunan yang memiliki peran penting dalam sejarah Keraton Jogja adalah Masjid Pathok Negoro. Masjid Pathok Negoro adalah deretan masjid yang menjadi pilar berdirinya Keraton Jogja, dengan fungsi masing-masing yang tersebar ke penjuru mata angin di berbagai wilayah Jogja. Masjid Pathok Negoro Plosokuning memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta, tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat kegiatan keagamaan dan sosial.

     Masjid ini sangat membantu masyarakat dalam melaksanakan sholat berjamaah, serta menjadi tempat untuk berbagai kegiatan keagamaan lainnya. Dengan demikian, Masjid Pathok Negoro Plasokuning menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Yogyakarta, dan terus menjadi simbol keagamaan dan kebudayaan yang kuat di wilayah tersebut. Sebagai bagian dari warisan budaya Kesultanan Yogyakarta, Masjid Pathok Negoro Plosokuning memiliki nilai sejarah yang tinggi dan menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal dan mancanegara. Masjid ini juga menjadi simbol kekuasaan tradisional dan spiritual, serta menjadi pengingat akan pentingnya melestarikan nilai-nilai budaya dan keagamaan. Dengan demikian, Masjid Pathok Negoro Plosokuning tetap menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Yogyakarta, dan terus menjadikan sumber inspirasi.

 

  1. Gaya Arsitektur Masjid Pathok Negoro Plosokuning

Masjid dalam tradisi Islam Jawa tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga sarat dengan simbol-simbol yang penuh makna. Setiap bagian dari masjid, mulai dari tiang, genteng, pintu, tangga, gapura, hingga kolam di sekitarnya, menyimpan pesan filosofis dan spiritual yang mendalam. Simbol-simbol tersebut lahir dari perpaduan antara nilai-nilai Islam dengan kearifan lokal masyarakat Jawa, sehingga melahirkan sebuah warisan budaya yang kaya akan makna. Dengan memahami simbol-simbol itu, kita diajak untuk melihat bahwa masjid bukan sekadar bangunan fisik, melainkan juga ruang edukasi, pengingat, sekaligus media dakwah yang meneguhkan keimanan dan mempererat hubungan antara manusia dengan Allah SWT.

Makna Tiang diserambi masjid mulai dari Tiang yang banyak dan tertata rapi  kokohnya iman yang menopang kehidupan umat Islam. Tiang-tiang pada serambi masjid  menggambarkan bahwa ajaran Islam akan tegak jika ditopang oleh jamaahnya yang kuat imannya. Tiang kecil pada dalam masjid melambangkan jumlah bulan dalam setahun atau 12 bulan hijriah. Tiang Besar (Saka Guru) melambangkan empat sahabat Nabi Muhammad SAW (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali).Bisa juga dimaknai sebagai simbol empat penjuru mata angin, tanda bahwa dakwah islam menyebar ke seluruh arah. Makna Tanduk di Genteng Masjid sebagai Simbol Perlindungan & Penolak Bala/bahaya. Tanduk dipercaya masyarakat Jawa sebagai lambang kekuatan untuk mengusir roh jahat atau bahaya yang akan datang. Ketika dipasang di atap masjid, maknanya bukan mistis, tapi sebagai doa agar masjid tetap terjaga dari gangguan duniawi maupun gaib. Makna tiga pintu Dimaknai sebagai Simbol Tiga Jalan Menuju Allah (Thariqah, Syari’ah, dan Hakikat). Syari’ah adalah aturan lahiriah (ibadah sehari-hari, halal–haram). Thariqah adalah jalan atau proses penyucian jiwa. Hakikat adalah pengenalan hakiki kepada Allah. Ketiganya adalah jalan yang harus dilalui seorang hamba agar sampai pada kedekatan dengan Allah.

Makna Tangga Masjid Ploso Kuning yaitu mulai dari 3 tangga bawah Bisa dimaknai sebagai iman, Islam, ihsan yaitu tiga pokok utama yang jadi dasar keagamaan.Artinya sebelum masuk lebih dalam, seorang Muslim harus menegakkan pondasi keagamaan lebih dulu. 3 Tangga atas Bisa dimaknai sebagai ilmu, amal, takwa yaitu tahap menuju derajat yang lebih tinggi. Artinya setelah pondasi kuat, barulah naik ke tingkatan penyempurnaan pondasi keagamaan. Tangga bawah dan atas (jika ditotal seluruhnya menjadi 6) Totalnya 6, yang dimaknai sebagai 6 rukun iman. Jadi, siapa pun yang masuk masjid diingatkan agar keimanannya tegak sempurna, karena iman adalah dasar semua amal. Arti Gerbang / Gapura Masjid Ploso Kuning menjadi Simbol Transisi Dari Duniawi ke Sakral. Gapura adalah batas antara dunia menuju dan area masjid. Setiap orang yang melewati gerbang harus diminta untuk mengubah niatnya: dari urusan dunia menuju ibadah. Makna kolam ikan pada Masjid Pathok Negoro Plosokuning, pada awalnya adalah untuk membasuh kaki jamaah masjid yang mayoritas adalah petani, belakang fungsinya sudah tergeser namun keberadaan kolam tetap dipertahankan. Kolam ini pada akhirnya difungsikan untuk memelihara ikan dan memiliki makna sebagai sistem irigasi dan lumbung pangan, yang juga berfungsi sebagai sumber daya untuk masyarakat dan sarana edukasi Islam serta pertanian.

  1. Kebermanfaatan Masjid Pathok Negoro Plosokuning bagi Masyarakat

Masjid Pathok Negoro menjadi pusat kegiatan keagamaan yang penting bagi masyarakat Yogyakarta. Di sini, masyarakat dapat melaksanakan sholat berjamaah, pengajian, dan berbagai kegiatan lainnya. Aktivitas keagamaan yang rutin diadakan di masjid ini membantu meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang agama.Selain sebagai pusat keagamaan, Masjid Pathok Negoro juga menjadi wadah pelestarian budaya dan tradisi lokal. Masjid ini menjadi tempat untuk melestarikan dan mengembangkan tradisi-tradisi lokal yang unik dan kaya, seperti kesenian dan upacara keagamaan. Dengan demikian, Masjid Pathok Negoro membantu melestarikan identitas budaya masyarakat Yogyakarta.

Masjid Pathok Negoro juga memiliki peran penting dalam meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan sosial dan keagamaan. Masjid ini menjadi titik berkumpulnya masyarakat untuk melaksanakan kegiatan sosial dan keagamaan bersama, sehingga memperkuat ikatan sosial dan kesadaran komunitas. Dengan nilai sejarah dan budaya yang tinggi, Masjid Pathok Negoro menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat sekitarnya.

Masjid Plosokuning atau Masjid Pathok Negoro Sulthoni Plosokuning ditetapkan sebagai Cagar Budaya karena memiliki nilai sejarah, arsitektur, dan religius yang penting. Hampir 80% bagian bangunan masih asli, termasuk tata ruang, bentuk serambi, saka guru, serta kolam di sekeliling masjid yang menjadi ciri khas masjid pathok nagara. Selain itu, masjid ini juga memiliki fungsi sosial dan religius yang terus hidup di tengah masyarakat, sebagai pusat ibadah sekaligus syiar agama Islam. Penetapan ini memiliki dasar hukum yang kuat, yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2022 tentang Registrasi serta Pelestarian Cagar Budaya. Secara administratif, Masjid Plosokuning ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya melalui Surat Keputusan Bupati Sleman Nomor 14.7/Kep.KDH/A/2017 tanggal 6 Februari 2017, serta diperkuat dengan Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor 210/KEP/2010 tanggal 2 September 2010. Dengan penetapan tersebut, Masjid Plosokuning diakui bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai warisan budaya yang wajib dijaga, dilestarikan, dan diwariskan kepada generasi berikutnya.

 

PENUTUP

Kesimpulan

Masjid Pathok Negoro Plosokuning merupakan salah satu masjid bersejarah di Yogyakarta yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat. Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat kegiatan keagamaan, sosial, dan budaya. Dengan nilai sejarah dan budaya yang tinggi, Masjid Pathok Negoro Plosokuning menjadi simbol kebersamaan dan identitas masyarakat Yogyakarta.

Masjid ini memiliki arsitektur yang unik dan khas, dengan perpaduan antara gaya tradisional Jawa dan Islam. Selain itu, Masjid Pathok Negoro Plosokuning juga memiliki makna simbolis yang dalam, seperti tiang, tanduk, pintu, tangga, dan gerbang yang memiliki makna spiritual dan keagamaan.

Dengan demikian, Masjid Pathok Negoro Plosokuning menjadi bagian penting dari warisan budaya Kesultanan Yogyakarta yang perlu dilestarikan dan dijaga. Masjid ini juga menjadi destinasi wisata yang menarik bagi wisatawan lokal dan mancanegara yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang sejarah dan budaya Yogyakarta.

PUSTAKA

Dipastoria. (2023). Sejarah Masjid Pathok Negoro. Diakses dari https://dipastoria.com

Pemerintah Kabupaten Sleman. (2017). Surat Keputusan Bupati Sleman Nomor 14.7/Kep.KDH/A/2017 tentang Penetapan Masjid Plosokuning sebagai Cagar Budaya. Sleman: Pemkab Sleman.

Daerah Istimewa Yogyakarta. (2010). Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor 210/KEP/2010 tentang Penetapan Bangunan Cagar Budaya Masjid Plosokuning. Yogyakarta: Pemda DIY.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Registrasi dan Pelestarian Cagar Budaya.

Purbatjaraka, R. Ng. (1952). Sejarah Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Balai Pustaka.

Susetyo, S. (2015). Masjid Pathok Negoro: Jejak Islam di Yogyakarta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tim Penyusun. (2018). Masjid-masjid Bersejarah di Yogyakarta. Yogyakarta: Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY.

 

Disusun oleh: Alfaiz Hasan Aunila, Alfin Erlangga Pratama, Fadhil Aydin Faiz, Habib Safiy Huda Al Rosid, Insan Yudha Pranata, Muhamma Raffa Alif Putra, Rahma Putri Zabrina, Sinta Istafuljanah, Vainusa Arbach (MTsN 10 Sleman).